Senin, 16 September 2013

Jasa Penghulu Nikah Siri

WALI PERNIKAHAN
MENURUT IMAM MAZHAB

A.     Pengertian Wali dalam Pernikahan
Secara bahasa, wali bisa berarti rasa cinta (mahabbah) dan pertolongan (nushrah), bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan kekuatan (qudrah). Ini berarti, seorang wali adalah orang yang menolong atau orang yang memiliki kekuasaan. Sedangkan menurut istilah, kata "wali" mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria).[1]
Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh 'ala Mazaahib Al Arba'ah :
"Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali)”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.

B.     Macam-macam Wali Pernikahan
1.      Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena adanya hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab, terdapat perbedaan pendapat.[2]
Imam Syafi`i memegangi keashabahan. Beliau berpendapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita.[3] Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat lebih dulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.
Imam Abu Hanifah mengemukakan, semua kerabat si wanita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah.[4]
Imam malik berpendapat keluarga dekat lebih berhak untuk menjadi wali. Selanjutnya beliau mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama, kemudian ayah sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke atas.
Al-Mughni berpendapat bahwa kakek lebih utama daripada saudara laki-laki dan anaknya saudara laki-laki, karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara lelaki sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (Almaula), kemudian penguasa.

2.      Wali Hakim
Wali Hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah: kepala pemerintahan, Khalifah (pemimpin), Penguasa atau qadhi nikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang `alim.
Bila ayah atau keluarga dekatnya tidak ada, maka Raja atau Amir atau penguasa dapat menjadi walinya. Ada suatu kasus seoran wanita menemua Nabi SAW dan meminta dirinya untuk dinikahkan, lalu dia dinikahkan dengan seorang lelaki yang bahkan tidan dapat membayar mahar karena miskinnya. Pada waktu itu tidak ada Wali dari keluarganya (Ayah atau keluarga lainnya), karena dia telah cukup dewasa untuk memahami proses “pros dan cons” dari tindakan itu[5].
Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
1)      Tidak ada wali nasab.
2)      Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab dan wali ab`ad.
3)      Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh ± 92,5 km atau dua hari perjalanan.
4)      Wali aqrab dipenjara atau tidak bisa ditemui.
5)      Wali aqrabnya adol.
6)      Wali aqrabnya mempersulit.
7)      Wali aqrab sedang ihram.
8)      Wali aqrabnya sendiri akan menikah.
9)      Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan  wali mujbir tidak ada.[6]

3.      Wali Tahkim
Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah: calon suami mengucapkan tahkim“Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya pada si … (calon istri) dengan mahar … dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “Saya terima tahkim ini.”.
Wali tahkim terjadi apabila:
1)      Wali nasab tidak ada,
2)      Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya di situ,
3)      Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).

4.      Wali Maula
Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
Dalam hal boleh tidaknya majikan menjadi wali sekaligus menikahkannya dengan dirinya sendiri, ini ada beberapa pendapat.
Imam Malik berkata : 
“Andaikata seorang janda berkata kepada walinya nikahkanlah aku dengan lelaki yang engkau sukai, lalu ia nikahkan denga dirinya sendiri, atau lelaki lain yang dipilih oleh perempuan yang bersangkutan, maka sah lah nikahnya walaupun calon suaminya itu tidak dikenal sebelumnya.” Pendapat senada juga disebutkan oleh Imam Hanafi, Lais, Sauri dan Auza`i.

Sedang Imam Syafi`i mengatakan : 
“Yang menikahkannya haruslah hakim atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab wali termasuk syarat pernikahan. Jadi pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli dirinya sendiri.”.

Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi`i dan Abu daud, ia mengatakan bahwa kalau dalam masalah ini diqiyaskan dengan seorang penjual tidak boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang tidak benar. Sebab jika orang dikuasakanuntuk menjual suatu barang lalu membelinya sendiri, asal ia tidak melalaikan maka hukumnya diperbolehkan. Ia beralasan dengan sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Anas r.a.:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah memerdekakan Sofiyah lalu dijadikan istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya, serta mengadakan walimahnya dengan seekor kambing,” (HR. Bukhari)

C.     Pendapat Ulama Tentang Perwalian Dalam Pernikahan
1.      Imam Syafi’i
Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Imam Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah :
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 232)

Surat An-Nisa:
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.An-Nisa : 25)
  
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.                        (Q.S. An-Nisa : 34)

Menurut Imam Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a.

2.      Imam Maliki
Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda.
Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secara tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar.

3.      Imam Hambali
Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus.
Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan.

4.      Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy Sya`bi dan Az-Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding (kufu`), maka pernikahannya boleh.[7]
Abu Hanifah dan Abu Yusuf malahan mengatakan bahwa wabita yang baligh lagi berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang masih belum dewasa (kecil) dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain. Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak kufu, maka wali dapat menghalanginya.
Para wali juga dapat menghalangi pernikahan, bila maharnya lebih kecil (rendah) dari mahar yang biasanya berlaku (dipandang tidak wajar).
Sekiranya wanita itu tidak mempunyai wali (dalam kedudukannya sebagai ahli waris) dan yang ada hanya wali hakim saja umpamanya, maka wali itu tidak ada hak untuk  menghalangi wanita itu menikah dengan laki-laki yang tidak kufu dan maharnya lebih kecil (rendah) sekalipun, karena wewenang berada di tangan wanita itu sepenuhnya. Kendatipun tidak kufu kufu dan maharnya kecil, tidak ada yang menanggung malu dari keluarganya (walinya).
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah adalah firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 230, yaitu:  
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 230)

Kemudian juga firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 234
 
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S. Al-Baqarah : 234)

Menurut golongan ini, ayat pertama dan  kedua ditujukan (khitab) kepada suami, buka kepada wali (pendapat jumhur).
Sedangkan ayat ketiga jelas, bahwa wewenang itu berada pada diri wanita itu. Para wali tidak dipersalahkan (berdosa). Bila si wanita itu bertindak atas namanya sendiri.
Menurut golongan Hanafiyah, keberadaann wali dalam suatu perkawinan hukumnya sunat.
Setelah melihat kedua pendapat yang berbeda, maka Abu Tsaur (salah seorang fakih golongan Syafi`iyah) mengemukakan pendapatnya, bahwa suatu perkawinan dilangsungkan sesudah disetujui bersama oleh wanita dan walinya.[8]

5.      Jumhur Ulama
Salah satu rukun nikah adalah wali. Karena wali termasuk rukun, maka nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur Ulama. Hal ini berarti ada juga pendapat yang memandang sah suatu perkawinan tanpa ada wali. Dasar yang dipergunakan oleh Jumhur Ulama yang berpendapat bahwa perkawinan tidak sah tanpa adanya wali yaitu firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 232.

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 232)

Apabila seorang wanita ditalak oleh suaminya, maka setelah habis iddah-nya, si wanita itu bolah lagi kawin dengan bekas suaminya (ada ketentuannya sesudah talak tiga/talak baa`in), atau laki-laki lain. Para wali tidak boleh menghalangi atau melarang bila ada kesepakatan antara kedua calon mempelai.[9]
Ayat di atas menunjukkan, bahwa kedudukan dan keberadaan wali itu memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan.[10]
Apabila telah mendapatkan izin dari wali, namun oleh beberapa sebab, (tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya), wali itu tidak  dapat secara langsung menikahkannya, maka hakimlah  yang menjadi walinya.
Demikian juga si wanita tidak boleh mewakilkan kepada seseorang untuk menikahkan dirinya, karena dia tidak mempunyai wewenang untuk itu.
Menurut Al-Hakim, Hadis istri Rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah, Zainab mencapai tiga puluh Hadis mengemukakan tentang wali dalam pengertian yang sama, walaupun redaksinya berbeda. Oleh Ibnu Mundzir ditegaskan lagi, bahwa dia tidak melihat salah seorang sahabatpun menyalahinya.
Di antara sahabat yang berpegang kepada Hadis (tidak sah nikah tanpa wali), adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan Aisyah.
Dari kalangan Tabi`in, yaitu di antaranya; Sa`iid bin Musayyah, Hasan Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha`I, Umar bin Abd. Aziz.
Selain ulama-ulama tersebut, kita lihat pula; Sofyan As-Tsaury, Auzaai`y, Abdullah ibn Mubarak, Syafi`I, Ibnu Syubramah, Ahmad, Ishak, Ibnu Hazm, Ibnu Abi Laila, At-Thavary dan Abu Tsaur, yang sejalan dengan pendapat mereka dengan para sahabat yang telah disbutkan di atas.[11]

6.      Konsep Perundang-Undangan
Sedangkan menurut konsep perundang-undangan di beberapa Negara, dapat kita buat beberapa tipologi :
1)      Tunisia : Wali tidak lagi menjadi syarat atau rukun akad nikah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar