Sabtu, 16 November 2013

Kecemburuan Aisyah

Aisyah meriwayatkan : “Setiap kali kambing disembelih, Rasulullah akan memberi sedekah kepada sahabat sahabat Khadijah, apabila Aisyah.”
Aisyah juga menyebutkan bahwa Rasulullah senantiasa bercakap panjang lebar dan memuji Khadijah serta mendoakannya,
Terakhir, Aisyah menceritakan kecemburuannya yang sangat tinggi pada Khadijah : ungkapnya pada Rasululah, Khadijah lagi, Khadijah lagi, seperti tidak ada wanita lain selain khadijah.

Semua hal ini Aisyah menceritakan kepada para sahabat  dengan gamblang dan tanpa rasa sakit hatiSubhanalloh Aisyah menceritakan kembali semua sikap sikap Rasulullah ketika Rasul memuji madunya Aisyah, ketika Rasulullah bersikap begini begitu pada Khadijah yang sangat dicemburui Aisyah, padahal bila Aisyah mau, ia mampu saja menyembunyikannya, toh tidak ada yang tahu bila dia sembunyikan cerita-cerita mengenai Khadijah. Namun Aisyah karena keprofesionalannya sebagai istri Rasulullah, beliau sadar bahwa tugasnya dimuka bumi ini sebagai istri Rasul yang merawikan hadist, menjadikan sikap-sikap dan cerita-cerita rumah tangga Rasulullah dengan para istrinya adalah sebagai suri tauladan bagi umatAisyah mau menceritakan kembali semua sikap Rasulullah  terhadap Khadijah untuk dipelajari oleh para sahabat dan umat,
Aisyah pun mampu  menepikan rasa cemburunya terhadap Khadijah,  dikarenakan ada tugas yang lebih penting yang harus dilakukan, yaitu  merawikan hadist, menceritakan kembali bagaimana sikap Rasul kepada Khadijah, dan juga mengangkat kembali kisah-kisah Khadijah agar  Khadijah tetap mulia dan  dikenang umat serta para wanita, dan hal itu dilakukan dengan sangat professional.
Sungguh bergembiralah wahai Aisyah, imanmu yang tinggi membuat engkau mampu bersikap professional dan mengalahkan cemburumu untuk pekerjaan yang lebih mulia daripada sekedar cemburu.
Gambaran ini penting untuk kita para wanitaTerkadang kita suka cemburu bila suami kita melihat wanita lain
Ketika sumai kita ingin memadu ataupun meracun mungkin dengan mempoligamikan para istri Hal itu sungguh membangkitkan rasa cemburu di hati kita
Namun marilah kita mengelola rasa cemburu yang ada dalam diri kita sehingga menjadi cemburu yang profesional sehingga rasa cemburu boleh terus hadir namun janganlah sampai membuat kita sebagai wanita tertipu oleh rasa cemburu yang membuat akhlak kita kepada suami menjadi buruk, lidah kita menjadi tajam seperti silet, menyindir-nyindir padahal suami sudah berkali-kali minta maaf
Menegelola rasa cemburu itu diperlukan agar tidak merusak suasana sakinah rumahtangga kita, apalagi bila harus marah atau memarahi suami didepan anak-anak atau memarahi anak-anak karena rasa cemburu yang memang kerap membuat wanita menjadi mudah marah
Hal itu jelas membuat semua pihak menderita, baik si wanitanya, suaminya, maupun anak-anaknya, karena rasa cemburu yang tidak dikellola secara professional.
Ingatlah, cemburu itu karena cinta, maka janganlah cinta membuat kita manjadi buta sehingga akhirnya kita termasuk ahli neraka karena  ulah sikap kita yang jauh dari pahala.


Senin, 16 September 2013

Jasa Penghulu Nikah Siri, Ust H Reza Pahlevi S.Ag

KAJIAN FIQH DAN HUKUM KONTEMPORER ATAS KEDUDUKAN WALI


KAJIAN FIQH DAN HUKUM KONTEMPORER ATAS KEDUDUKAN WALI
Dalam pandangan mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali, wali merupakan syarat dalam pernikahan[1], sehingga dianggap tidak sah apabila pernikahan tidak memakai wali.[2] Para ulama sepakat mengenai kedudukan wali untuk menikahkan anaknya yang kecil, gila ataupun yang kurang kemampuan akalnya. Akan tetapi apabila anaknya sudah balig, berakal Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Menurut Abu Hanifah, bagi yang berakal, baligh apalagi statusnya janda ia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Jumhur ulama tetap dengan pendapatnya semula, yaitu pernikahan akan sah jika adanya wali baik anak tersebut kecil, dewasa, balig ataupun janda. Menurut mazhab Hanabilah, tetap harus ada izin (persetujuan) baik janda ataupun gadis, sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafii persetujuan hanya untuk janda, apabila masih gadis tidap perlu mendapat persetujuan dari anak tersebut meskipun adanya persetujuan akan lebih baik bagi pernikahan yang akan dilangsungkan.[3]
Dalam pandangan Abu Hanifah dan Abu Yusuf, meskipun izin wali tidak diperlukan dalam sebuah pernikahan, wali mempunyai kewenangan apabila pernikahan yang dilangsungkan oleh anaknya ternyata dilakukan dengan lelaki yang tidak sekufu. Perbedaan yang cukup jauh antara pendapat Abu Hanifah dengan jumhur ulama, lebih karena disebabkan metodologi dalam pengambilan hukum. Aqad nikah dalam mazhab Hanafiyah dipersamakan dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup ijab dan qabul, kedudukan wali hanya diperuntukan bagi pasangan suami istri yang masih kecil. Di sisi lain ulama Hanafiyah memandang tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai status wali baik dalam al Quran maupun hadits. Beberapa hadits Rasulullah yang menjelaskan mar’ah tidak boleh menikahkan sendiri, memberi makna sesuai lafadnya di mana mar’ah merupakan anak kecil yang belum dewasa sehingga tidak sah apabila ia menikahkan dirinya.[4]
Di samping itu, dalam ushul fiqh mazhab Hanafiyah, hanya menganggap sebagai suatu kewajiban (fardl) ketika dalil yang ditetapkan berasa dari Al Quran ataupun hadits mutawatir dengan penunjukkan hukum yang tegas.[5] Dalil-dalil al Quran yang menjadi hujjah keharusan wali oleh ketiga Imam, dipandang memberikan petunjuk secara langsung (z}onniy al dilalah) sehingga tidak dapat diambil kesimpulan bahwa wali adalah satu keharusan dalam sebuah pernikahan. Demikian halnya dengan hadits-hadits yang mengharuskan adanya wali statusnya tidak termasuk dalam kelompok mutawatir. Penerapan hukum keluarga pada negara Saudi Arabia, Jordania, Maroko dan Malaysia merupakan cerminan dari ke empat mazhab sunni. Demikian halnya dengan penerapan kedudukan wali dalam hukum perkawinan. Jordania merupakan negara hasil penetrasi Inggris (dengan corak common law), namun dalam menerapkan hukum keluarga lebih bersifat legalistik mengikuti Turki yang terpengaruh dengan sistem hukum Prancis code cipil, di mana hukum terwujud dalam sebuah perundang-undangan. Dengan latar belakang mazhab Hanafi, Jordania menerapkan hukum keluarga dengan pengaruh yang kuat dari mazhab Hanafi. Diantara penegasan mazhab Hanafi berkenaan dengan urutan wali dan hukum waris yang menisbahkan langsung pada mazhab Hanafi.
Dalam pembahasan mengenai wali nikah, hukum keluarga Jordania tidak mengharuskan wali pada pengantin perempuan di atas usia 18 tahun. Wali mujbir ayah dan kakek hanya sampai batas usia 18 tahun, sedangkan bagi selain ayah dan kakek hingga usia 15 tahun.[6] Seperti halnya dalam mazhab Hanafii, wali dapat mengajukan pembatalan nikah apabila anaknya menikah dengan lelaki yang tidak sekufu. Demikian pula dengan batasan umur untuk menikahkan sendiri, Imam Abu Hanifah memberi batasan 18 tahun bagi perempuan yang dapat menikahkan dirinya sendiri. Di Saudi Arabia dengan latar belakang penduduknya yang bermazhab Hanbali, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan pelaksanaannya, karena hukum yang berlaku pun bersifat tradisional (hukum adat dalam katagorisasi sistem hukum Indonesia) yakni tidak dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Hukum diterapkan merujuk pada Al Quran dan hadits dengan mengedepankan mazhab Hanbali dalam penerapannya. Malaysia termasuk negara yang cenderung memegang teguh mazhab yang selama ini berkembang di negaranya. Ketentuan mengenai perkawinan cenderung menerapkan apa yang terdapat dalam mazhab Syafii. Demikian halnya dengan ketentuan wali, menjadi satu keharusan dalam pelaksanaan pernikahan. Ketentuan wali di dalam hukum keluarga di Indonesia jauh lebih rinci bila dibandingkan dengan Malaysia yang sama-sama mayoritas muslimnya bermazhab Syafii. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali di bahas mengenai wali nasab dan wali hakim. Wali nasab dijelaskan mengenai kedudukan dan golongannya secara rinci. Demikian pula dengan status wali hakim yang dapat bertindak ketika wali nasab tidak ada atau karena adlolnya wali. Perbedaan ini terjadi karena sistem administrasi pernikahan di Malaysia dan Indonesia berbeda.
Di Malaysia pendaftaran pernikahan dapat saja dilangsungkan setelah pernikahan tersebut dilakukan sebelumnya. Sedangkan di Indonesia untuk melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus didaftarkan minimal 10 hari sebelumnya dan pada saat akad nikah harus dihadiri oleh pejabat Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karenanya pengaturan wali nikah yang rinci merpakan pedoman bagi pegawai pencatat nikah dalam memeriksa sebuah pendaftaran (rencana) pernikahan.
Pemberlakuan hukum keluarga di Maroko berbeda dengan tiga negara sebelumnya. Di mana pada tiga negara tersebut menerapkan hukum keluarga yang diwarnai oleh corak mazhab yang menjadi pegangan sebagian besar umat muslimin di negara tersebut. Selama ini, muslim Maroko mayoritas penganut mazhab Maliki. Namun dalam hukum keluarga cenderung mengikuti mazhab Hanafi. Perbedaan wali nikah dalam mazhab Hanafi dengan hukum keluarga di Maroko berkenaan dengan status wali dan kewenangan menikahkan. Wali dalam hukum keluarga di Maroko, tidak menjadi hak ayah ataupun kakek, tetapi menjadi hak anak perempuan yang sudah baligh dan berakal. Kalaupun si ayah menikahkan anak perempuannya, tindakan ayah tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari anaknya.
H. Kesimpulan
Dari uraian yang sudah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan mengenai penerapan wali dalam pernikahan di negara Jordania, Maroko, Saudi Arabia dan Malaysia.
1. Penerapan hukum wali dalam hukum keluarga sangat dipengaruhi oleh mazhab mayoritas yang dianut oleh masyarakat muslim di negara tersebut, kecuali di Maroko yang mayoritas mengikuti mazhab Maliki, tetapi berkenaan dengan wali mengikuti mazhab Hanafi seperti di Jordania. Sementara itu di Saudi Arabia mempergunakan mazhab Hanbali secara tradisional (tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan) sedangkan di Malaysia dan Indonesia, benar-benar mempergunakan mazhab Syafii dalam mengatur wali nikah.
2. Jordania dan Maroko merupakan negara yang berpenduduk muslim yang memberikan penghargaan lebih kepada status perempuan dengan memberikan hak kepada perempuan yang sudah dewasa untuk menikahkan dirinya dengan orang lain. Arab Saudi dengan latar belakang mazhab Hanbali, Malaysia dan Indonesia yang berlatar mazhab Syafii termasuk negara yang tidak memberikan hak kepada perempuan untuk menikahkan dirinya, karena wali nikah dipandang sebagai rukun dalam pernikahan.


[1] Hal ini didasarkan pada surat al Baqarah ayat 221 Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musyrik sebelum mereka beriman, ayat ini ditujukan kepada wali nikah. Demikian pula dalam surat al Baqarah ayat 232 Janganlah kamu menghalang-halangi mereka (para isteri) untuk menikah kembali dengan bekas suami mereka jika mereka saling meridoi dengan cara yang ma’ruf. Ma'qil bin Yasar menceritakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Katanya, "Saya menikahkan salah seorang saudara perempuanku dengan seorang pria, tetapi kemudian diceraikannya. Ketika iddahnya habis, ia datang lagi meminangnya."Maka saya jawab,“Dulu kamu saya jodohkan, saya nikahkan dan saya muliakan, tetapi kemudian kamu ceraikan. Dan kini kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah kamu tidak dapat kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya. Lelaki ini orangnya biasa saja, tetapi bekas istrinya itu ingin kembali kepadanya. Dalam hadits Abu Musa sesungguhnya Rasulullah telah bersabda Tidak syah nikah tanpa wali.
[2] Wahbah Az Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa adillatuhu Juz VII, (Berut: Darul Fikr, 1985), hal 192
[3] Wahbah Az Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa adillatuhu Juz VII, hal 193.
[4] Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkainan di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Al Fikris, 2009, hal. 3 36 Muhammad al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubro. 1969, hal 33
[5] Muhammad al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubro. 1969, hal 33
[6] Sebagai pemahaman dari ketentuan wali adhol bagi anak usia kurang dari 15 tahun dan usia 15-18 tahun.

Jasa Penghulu Nikah Siri, Ust H Reza Pahlevi S.Ag

KEDUDUKAN WALI DALAM PERKAWINAN

KEDUDUKAN WALI DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian Wali
Menurut bahasa, wali adalah orang yang menurut hukum dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara, mengawasi dan menguasai suatu persoalan. Perwalian disebut juga wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan.
Sedangkan menurut istilah, wali adalah pertanggung jawaban tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang ada di bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta kekayaan.
Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiah, membedakan perwalian ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘alan nafs), perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walayah ‘alan nafsi wal mali ma’an).
Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayah ‘alan nafs, yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para wali yang lain.
Perwalian yang berkenaan dengan manusia dalam hal ini masalah perkawinan disebut wali nikah. Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus, memelihara yang ada di bawah perwaliannya atau perlindungan-nya.
Maksudnya seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap seseorang
lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung serta mampu berbuat itu. Sedang seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta haknya lantaran ia merasa tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang lain.
Siapa yang membutuhkan perwalian ini dalam sebuah perkawinan, tampaknya juga masih belum disepakati secara bulat oleh para ulama ahli hukum. Memang ada beberapa perbedaan antara mazhab satu dengan lainnya. Tapi secara umum, seseorang itu membutuhkan wali lantaran: belum dewasa, kurang ingatan, kurang berpengalaman untuk memikul tanggung jawab.
Dengan demikian wali memiliki tanggung jawab yang besar, karena telah dikukuhkan oleh hukum (agama) dan apabila dilihat berdasarkan kedudukannya, wali tidak begitu saja melimpahkan wewenangnya kepada orang lain yang tidak berhak, karena untuk menjadi wali harus ada kaitannya dengan struktur keluarga (hubungan nasab). Disamping itu wali juga sebagai rukun dan syarat dalam
melangsungkan perkawinan.

B. Pandapat Ulama
1. Pendapat Imam Abu Hanifah
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat di dalam harus atau tidak adanya wali dalam nikah, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sah nikah wanita dewasa yang berakal tanpa adanya wali, wanita dewasa dapat menjadi wali dalam nikahnya juga nikah wanita lain, dengan syarat calon suaminya sekufu, dan maharnya tidak kurang dari mahar yang berlaku pada masyarkat sekitar. Apabila wanita itu menikah dengan orang yang tidak seskufu dengannya maka walinya boleh membatalkan nikah.
2. Pendapat Jumhur (Imam Syafi,i, Maliki dan Hanbali)
Pendapat jumhur ulama (Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali) berpendapat bahwa nikah tidak sah tanpa adanya wali.
Sebagian besar ulama fikih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jika dia menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal atau tidak sah. Dan ini merupakan pendapat banyak sahabat seperti Ibnu Umar, Ali Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah r.a. Dan begitu juga menurut Said bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Tsauri, Ibnu Abi Layla, Ibnu Syibrimah, ibnu Mubarok, Ubaidullah bin Anbari, Ishaq dan Abu Ubaidah.



C. Argumentasi dan kerangka berfikir para ulama
Adapun argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur ulama fikih tersebut, menurut Sayyid Sabiq,adalah:
1. Hadis Nabi riwayat Abu Musa yang berbunyi “La nikaha illa bi Waliyyin”
dan hadis Nabi riwayat ‘Aisyah yang berbunyi ”Ayyuma imraatin nakahat bighairi izdni waliyyiha fanikahuha batil...”. Berbeda dengan Abu Hanifah, asy-Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad yang dijamin keasliannya (sahih) boleh diterima dan harus didahulukan daripada analisis akal pikiran.
2. Perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah, dan di dalam kehidupan biasanya laki-laki lebih mampu untuk menjaga tujuan ini, adapun wanita kemampuannya biasanya terbatas oleh faktor-faktor psikologis,lingkungan dan lainnya, maka sebaiknya pelaksanaan akad nikah diserahkan kepada walinya. Oleh sebab itu ia tidak boleh melakukan akad nikah secara langsung. Akad nikah harus dilakukan oleh walinya supaya tujuan perkawinan dapat tercapai secara sempurna.
3. Asy-Syafi’i hidup di Baghdad dan Mesir yang mana di kedua daerah tersebut, para wanita dinikahkan ketika menginjak baligh atau sesudah mengalami menstruasi yaitu pada kisaran 10-15 tahun. Tentu saja seorang gadis pada masa seperti itu belumlah bisa memutuskan sesuatu yang sepenting nikah oleh cara pikirannya sendiri. Bahkan di abad modern, perempuan pada usia 10-15 tahun masihlah dianggap anak-anak dan belum dewasa.
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama fikih tersebut, Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berpendapat bahwa perempuan dewasa yang berakal sehat memiliki hak melaksanakan akad nikah langsung tanpa wali, baik gadis maupun janda, baik menikah dengan laki-laki yang sekufu atau tidak.
Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf adalah:
1. Nash Quran surat al Baqarah ayat 232yang artinya :
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…(al-Baqarah: 232)
2. Asy-Syafi’i menggunakan hadis ahad yang menyatakan tidak sah suatu pernikahan kecuali atas izin walinya.”La nikaha illa bi wali.” Sedangkan Abu Hanifah, tidak mau menerima hadis ini karena dinilai tidak memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah atau dalil. Sebabnya, menurut Abu Hanifah, sebuah hadis yang bisa diterima haruslah mencapai tingkatan mutawatir, yaitu hadis Nabi yang tidak mungkin terjadinya penipuan atau kebohongan atas hadis yang dibawa.

3. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.
4. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itutidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat.
5. Berbeda dengan asy-Syafi’i, Abu Hanifah hidup di Kota Kufah, di masa banyak pemalsuan hadis yang terjadi di tengah Kufah yang sudah menjadi kota kosmopolitan. Perempuan Kufah pada masa itu sudah terbiasa melakukan nikah pada kisaran 18-22 tahun, sebuah takaran umur yang lebih dewasa dari pada takaran usia nikah di Baghdad. Pada umur segitu, para wanita tentu sudah bisa mandiri dalam mengambil keputusan sehingga ia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Maka dari itu Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan muslim berhak untuk menikahkah dirinya sendiri walau walinya tidak setuju atau tidak mengetahuinya.
Meskipun terdapat pendapat yang membolehkan perempuan dewasa dan memiliki akal sehat untuk melakukan pernikahan sendiri, namun pendapat ini bukanlah pendapat yang diterima dan berlaku secara umum di dunia muslim. Di Indonesia, misalnya, dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tanpa wali perkawinan tidak sah.
Pada era modern ini terdapat pemikiran tentang masalah perwalian dalam perkawinan dari seorang ilmuan yang bernama Mohammed Arkoun, Untuk mengkaji ulang masalah perwalian dalam perkawinan dengan kaca mata Arkoun, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengkaji praktek sejarah yang pernah terjadi pada masa tersebut, demi melakukan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap konsep perwalian dalam perkawinan yang berlaku selama ini, yaitu untuk mengetahui kebiasaan yang dominan pada saat itu, yang mempengaruhi pembentukan pemikiran hukum Islam tentang wali bagi perempuan dalam perkawinan.
Dari perkawinan di Arabia pra-Islam hingga awal Islam terdapat pergeseran peran wali di dalam perkawinan seiring dengan perubahan status perempuan dalam perkawinan yang sedang diperjuangkan oleh Islam pada saat itu.
Pada masa arab pra Islam terdapat perkawinan ba’al yang menggunakan pembayaran mahar oleh peminang kepada wali perempuan yang sebenarnya mengikuti logika jual-beli. Dalam hal ini, wali perempuan sebagai penjual, sang peminang sebagai pembeli, dan sang perempuan sebagai barang yang dijual. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kondisi kehidupan perdagangan yang cukup pesat di Mekkah pada saat itu.
Konsep perkawinan yang mengikuti logika jual-beli tersebut, kemudian diperbarui oleh Islam dengan memperbaiki makna mahar yang sebelumnya dianggap sebagai harga pembelian bagi seorang perempuan yang dinikahi, menjadi pemberian yang tidak disertai dengan harapan menerima imbalan apa pun, sebagai bukti rasa cinta dan ikatan kekerabatan serta kasih sayang dan mengatur pemberian mahar kepada perempuan. Tujuan al-Qur’an dalam hal yang terakhir ini adalah untuk mentransfer istri dari posisi sebagai objek penjualan menjadi seorang pelaku kontrak yang sebagai ganti karena dia telah memberikan hak untuk berhubungan seksual dengan dirinya, berhak mendapatkan mahar.
Akan tetapi, spirit al-Qur’an tersebut tampaknya masih sulit untuk ditangkap dengan baik oleh kebiasaan yang berlaku pada saat itu. Akibatnya, konsep perkawinan pada masa awal Islam masih menyesuaikan dengan kultur patriarkal dan norma-norma androsentris yang mendominasi pada saat itu. Dalam pengertian bahwa wali yang menikahkan perempuan tetap ada di dalam konsep perkawinan dan perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, kecuali janda. Meskipun demikian, perlu dipahami, bahwa Islam tentu saja tidak dapat melakukan pembaruan konsep perkawinan secara radikal, melainkan secara bertahap seiring dengan perkembangan kultur yang berlaku pada suatu masa. Karena jika tidak demikian, tentu saja pembaruan Islam akan sulit untuk dapat diterima masyarakat Arabia pada saat itu.
Dalam kondisi ketika kaum perempuan belum memiliki hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, perempuan pada saat itu banyak mengalami pembatasan, termasuk untuk memperoleh pendidikan maupun berperan di wilayah publik. Situasi yang demikian ini tentu saja mengakibatkan sebagian besar perempuan pada saat itu kurang berpengalaman dan berpendidikan, sehingga kurang cakap apabila melakukan tindakan hukum sendiri. Dalam konteks inilah, perempuan masih membutuhkan perwalian dalam perkawinan, untuk memberikan perlindungan kepada perempuan agar tidak menjadi korban penipuan.
Namun, sangat disayangkan, bahwa peran wali yang berlaku temporal ini kemudian cenderung digeneralisir sebagai berlaku universal bagi semua perempuan oleh ulama fikih yang datang kemudian. Akibatnya, dalam membahas konsep perkawinan, ulama fikih masih cenderung menggunakan analogi akad penjualan, dan menggunakan logika hukum penjualan, dalam mana perempuan masih menjadi objek dan bukan subjek dalam akad perkawinan. Bahkan, melalui hak ijbar, seorang wali dapat memaksa anak perempuannya atau perempuan di bawah perwaliannya ke dalam suatu perkawinan tanpa ijinnya. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini, ketika sudah terdapat pengakuan akan kedudukan kaum perempuan yang sama dengan kaum laki-laki di masyarakat, selain juga kaum perempuan sudah tidak mendapatkan pembatasan untuk mendapatkan pendidikan maupun berperan di wilayah publik, maka adalah bertentangan dengan jaman (anachronic) dan kultur saat ini untuk tetap menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak cakap hukum di dalam melakukan akad perkawinan. Spirit al-Qur’an untuk mentransfer perempuan dari posisi sebagai objek dalam perkawinan menjadi seorang pelaku akad perkawinan perlu diangkat kembali, setelah sebelumnya tertimbun oleh tumpukan masa dan kultur yang cenderung patriarkis, kemudian diimplementasikan dalam tatanan kehidupan masyarakat saat ini.
Dari pembahasan sebelumnya dapat dilihat bahwa sebenarnya peran wali dalam perkawinan telah mengalami pergeseran di sepanjang sejarah. Dari sebagai penjual perempuan dalam perkawinan pada masa Arabia pra-Islam, kemudian menjadi pelindung perempuan ketika tidak cakap untuk menikah sendiri pada masa awal Islam. Namun, sangat disayangkan, bahwa peran wali sebagai pelindung yang kondisional ini kemudian cenderung digeneralisir sebagai berlaku universal bagi semua perempuan oleh ulama fikih yang datang kemudian. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini, konsep perwalian dalam perkawinan bagi perempuan perlu diperbarui, sehingga dapat memberikan kesempatan bagi perempuan dewasa untuk melakukan akad perkawinan sendiri. Dengan demikian, status perempuan yang selama ini sebagai objek dalam akad perkawinan, karena senantiasa di bawah perwalian, dapat diperbaiki menjadi subjek dalam akad perkawinan, seperti halnya kaum laki-laki.
D. Analisis terhadap masing-masing pendapat ulama
Pendapat imam Abu Hanifah
Kekurangan : jika nikah tidak diharuskan dengan adanya wali, maka akan banyak orang-orang yang menikah seenaknya tanpa izin wali yang bersangkutan.
Kelebihan : pendapat Imam Abu Hanifah tentang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri mengangkat derajat wanita kepada derajat yang lebih terhormat, dimana wanita pada pergeseran zaman dan keadaan mengalami perkembangan sehingga wanita berada pada posisi yang sama dengan laki-laki.
Pendapat Jumhur ulama (Imam Syafi’i, Hanbali dan Maliki)
Kekurangan : adanya diskriminasi terhadap perempuan dimana ia tidak boleh melakukan transaksi untuk dirinya, serta menganggap wanita berada pada derajat yang lebih rendah dari pada kaum pria.
Kelebihan : adanya rasa aman yang timbul sebab adanya izin dari wali, sebab pernikahan merupakan sebuah pilihan hidup yang akan dijalani seseorang, maka wanita dengan pilihan hidupnya harus berdasarkan pengetahuan wali.

Jasa Penghulu Nikah Siri

WALI PERNIKAHAN
MENURUT IMAM MAZHAB

A.     Pengertian Wali dalam Pernikahan
Secara bahasa, wali bisa berarti rasa cinta (mahabbah) dan pertolongan (nushrah), bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan kekuatan (qudrah). Ini berarti, seorang wali adalah orang yang menolong atau orang yang memiliki kekuasaan. Sedangkan menurut istilah, kata "wali" mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria).[1]
Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh 'ala Mazaahib Al Arba'ah :
"Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali)”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.

B.     Macam-macam Wali Pernikahan
1.      Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena adanya hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab, terdapat perbedaan pendapat.[2]
Imam Syafi`i memegangi keashabahan. Beliau berpendapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita.[3] Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat lebih dulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.
Imam Abu Hanifah mengemukakan, semua kerabat si wanita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah.[4]
Imam malik berpendapat keluarga dekat lebih berhak untuk menjadi wali. Selanjutnya beliau mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama, kemudian ayah sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke atas.
Al-Mughni berpendapat bahwa kakek lebih utama daripada saudara laki-laki dan anaknya saudara laki-laki, karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara lelaki sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (Almaula), kemudian penguasa.

2.      Wali Hakim
Wali Hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah: kepala pemerintahan, Khalifah (pemimpin), Penguasa atau qadhi nikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang `alim.
Bila ayah atau keluarga dekatnya tidak ada, maka Raja atau Amir atau penguasa dapat menjadi walinya. Ada suatu kasus seoran wanita menemua Nabi SAW dan meminta dirinya untuk dinikahkan, lalu dia dinikahkan dengan seorang lelaki yang bahkan tidan dapat membayar mahar karena miskinnya. Pada waktu itu tidak ada Wali dari keluarganya (Ayah atau keluarga lainnya), karena dia telah cukup dewasa untuk memahami proses “pros dan cons” dari tindakan itu[5].
Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
1)      Tidak ada wali nasab.
2)      Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab dan wali ab`ad.
3)      Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh ± 92,5 km atau dua hari perjalanan.
4)      Wali aqrab dipenjara atau tidak bisa ditemui.
5)      Wali aqrabnya adol.
6)      Wali aqrabnya mempersulit.
7)      Wali aqrab sedang ihram.
8)      Wali aqrabnya sendiri akan menikah.
9)      Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan  wali mujbir tidak ada.[6]

3.      Wali Tahkim
Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah: calon suami mengucapkan tahkim“Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya pada si … (calon istri) dengan mahar … dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “Saya terima tahkim ini.”.
Wali tahkim terjadi apabila:
1)      Wali nasab tidak ada,
2)      Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya di situ,
3)      Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).

4.      Wali Maula
Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
Dalam hal boleh tidaknya majikan menjadi wali sekaligus menikahkannya dengan dirinya sendiri, ini ada beberapa pendapat.
Imam Malik berkata : 
“Andaikata seorang janda berkata kepada walinya nikahkanlah aku dengan lelaki yang engkau sukai, lalu ia nikahkan denga dirinya sendiri, atau lelaki lain yang dipilih oleh perempuan yang bersangkutan, maka sah lah nikahnya walaupun calon suaminya itu tidak dikenal sebelumnya.” Pendapat senada juga disebutkan oleh Imam Hanafi, Lais, Sauri dan Auza`i.

Sedang Imam Syafi`i mengatakan : 
“Yang menikahkannya haruslah hakim atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab wali termasuk syarat pernikahan. Jadi pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli dirinya sendiri.”.

Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi`i dan Abu daud, ia mengatakan bahwa kalau dalam masalah ini diqiyaskan dengan seorang penjual tidak boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang tidak benar. Sebab jika orang dikuasakanuntuk menjual suatu barang lalu membelinya sendiri, asal ia tidak melalaikan maka hukumnya diperbolehkan. Ia beralasan dengan sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Anas r.a.:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah memerdekakan Sofiyah lalu dijadikan istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya, serta mengadakan walimahnya dengan seekor kambing,” (HR. Bukhari)

C.     Pendapat Ulama Tentang Perwalian Dalam Pernikahan
1.      Imam Syafi’i
Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Imam Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah :
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 232)

Surat An-Nisa:
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.An-Nisa : 25)
  
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.                        (Q.S. An-Nisa : 34)

Menurut Imam Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a.

2.      Imam Maliki
Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda.
Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secara tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar.

3.      Imam Hambali
Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus.
Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan.

4.      Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy Sya`bi dan Az-Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding (kufu`), maka pernikahannya boleh.[7]
Abu Hanifah dan Abu Yusuf malahan mengatakan bahwa wabita yang baligh lagi berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang masih belum dewasa (kecil) dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain. Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak kufu, maka wali dapat menghalanginya.
Para wali juga dapat menghalangi pernikahan, bila maharnya lebih kecil (rendah) dari mahar yang biasanya berlaku (dipandang tidak wajar).
Sekiranya wanita itu tidak mempunyai wali (dalam kedudukannya sebagai ahli waris) dan yang ada hanya wali hakim saja umpamanya, maka wali itu tidak ada hak untuk  menghalangi wanita itu menikah dengan laki-laki yang tidak kufu dan maharnya lebih kecil (rendah) sekalipun, karena wewenang berada di tangan wanita itu sepenuhnya. Kendatipun tidak kufu kufu dan maharnya kecil, tidak ada yang menanggung malu dari keluarganya (walinya).
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah adalah firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 230, yaitu:  
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 230)

Kemudian juga firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 234
 
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S. Al-Baqarah : 234)

Menurut golongan ini, ayat pertama dan  kedua ditujukan (khitab) kepada suami, buka kepada wali (pendapat jumhur).
Sedangkan ayat ketiga jelas, bahwa wewenang itu berada pada diri wanita itu. Para wali tidak dipersalahkan (berdosa). Bila si wanita itu bertindak atas namanya sendiri.
Menurut golongan Hanafiyah, keberadaann wali dalam suatu perkawinan hukumnya sunat.
Setelah melihat kedua pendapat yang berbeda, maka Abu Tsaur (salah seorang fakih golongan Syafi`iyah) mengemukakan pendapatnya, bahwa suatu perkawinan dilangsungkan sesudah disetujui bersama oleh wanita dan walinya.[8]

5.      Jumhur Ulama
Salah satu rukun nikah adalah wali. Karena wali termasuk rukun, maka nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur Ulama. Hal ini berarti ada juga pendapat yang memandang sah suatu perkawinan tanpa ada wali. Dasar yang dipergunakan oleh Jumhur Ulama yang berpendapat bahwa perkawinan tidak sah tanpa adanya wali yaitu firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 232.

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 232)

Apabila seorang wanita ditalak oleh suaminya, maka setelah habis iddah-nya, si wanita itu bolah lagi kawin dengan bekas suaminya (ada ketentuannya sesudah talak tiga/talak baa`in), atau laki-laki lain. Para wali tidak boleh menghalangi atau melarang bila ada kesepakatan antara kedua calon mempelai.[9]
Ayat di atas menunjukkan, bahwa kedudukan dan keberadaan wali itu memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan.[10]
Apabila telah mendapatkan izin dari wali, namun oleh beberapa sebab, (tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya), wali itu tidak  dapat secara langsung menikahkannya, maka hakimlah  yang menjadi walinya.
Demikian juga si wanita tidak boleh mewakilkan kepada seseorang untuk menikahkan dirinya, karena dia tidak mempunyai wewenang untuk itu.
Menurut Al-Hakim, Hadis istri Rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah, Zainab mencapai tiga puluh Hadis mengemukakan tentang wali dalam pengertian yang sama, walaupun redaksinya berbeda. Oleh Ibnu Mundzir ditegaskan lagi, bahwa dia tidak melihat salah seorang sahabatpun menyalahinya.
Di antara sahabat yang berpegang kepada Hadis (tidak sah nikah tanpa wali), adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan Aisyah.
Dari kalangan Tabi`in, yaitu di antaranya; Sa`iid bin Musayyah, Hasan Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha`I, Umar bin Abd. Aziz.
Selain ulama-ulama tersebut, kita lihat pula; Sofyan As-Tsaury, Auzaai`y, Abdullah ibn Mubarak, Syafi`I, Ibnu Syubramah, Ahmad, Ishak, Ibnu Hazm, Ibnu Abi Laila, At-Thavary dan Abu Tsaur, yang sejalan dengan pendapat mereka dengan para sahabat yang telah disbutkan di atas.[11]

6.      Konsep Perundang-Undangan
Sedangkan menurut konsep perundang-undangan di beberapa Negara, dapat kita buat beberapa tipologi :
1)      Tunisia : Wali tidak lagi menjadi syarat atau rukun akad nikah

Jasa Penghulu Nikah Siri

WALI PERNIKAHAN
MENURUT IMAM MAZHAB

A.     Pengertian Wali dalam Pernikahan
Secara bahasa, wali bisa berarti rasa cinta (mahabbah) dan pertolongan (nushrah), bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan kekuatan (qudrah). Ini berarti, seorang wali adalah orang yang menolong atau orang yang memiliki kekuasaan. Sedangkan menurut istilah, kata "wali" mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria).[1]
Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh 'ala Mazaahib Al Arba'ah :
"Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali)”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.

B.     Macam-macam Wali Pernikahan
1.      Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena adanya hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab, terdapat perbedaan pendapat.[2]
Imam Syafi`i memegangi keashabahan. Beliau berpendapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita.[3] Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat lebih dulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.
Imam Abu Hanifah mengemukakan, semua kerabat si wanita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah.[4]
Imam malik berpendapat keluarga dekat lebih berhak untuk menjadi wali. Selanjutnya beliau mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama, kemudian ayah sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke atas.
Al-Mughni berpendapat bahwa kakek lebih utama daripada saudara laki-laki dan anaknya saudara laki-laki, karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara lelaki sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (Almaula), kemudian penguasa.

2.      Wali Hakim
Wali Hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah: kepala pemerintahan, Khalifah (pemimpin), Penguasa atau qadhi nikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang `alim.
Bila ayah atau keluarga dekatnya tidak ada, maka Raja atau Amir atau penguasa dapat menjadi walinya. Ada suatu kasus seoran wanita menemua Nabi SAW dan meminta dirinya untuk dinikahkan, lalu dia dinikahkan dengan seorang lelaki yang bahkan tidan dapat membayar mahar karena miskinnya. Pada waktu itu tidak ada Wali dari keluarganya (Ayah atau keluarga lainnya), karena dia telah cukup dewasa untuk memahami proses “pros dan cons” dari tindakan itu[5].
Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
1)      Tidak ada wali nasab.
2)      Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab dan wali ab`ad.
3)      Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh ± 92,5 km atau dua hari perjalanan.
4)      Wali aqrab dipenjara atau tidak bisa ditemui.
5)      Wali aqrabnya adol.
6)      Wali aqrabnya mempersulit.
7)      Wali aqrab sedang ihram.
8)      Wali aqrabnya sendiri akan menikah.
9)      Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan  wali mujbir tidak ada.[6]

3.      Wali Tahkim
Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah: calon suami mengucapkan tahkim“Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya pada si … (calon istri) dengan mahar … dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “Saya terima tahkim ini.”.
Wali tahkim terjadi apabila:
1)      Wali nasab tidak ada,
2)      Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya di situ,
3)      Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).

4.      Wali Maula
Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
Dalam hal boleh tidaknya majikan menjadi wali sekaligus menikahkannya dengan dirinya sendiri, ini ada beberapa pendapat.
Imam Malik berkata : 
“Andaikata seorang janda berkata kepada walinya nikahkanlah aku dengan lelaki yang engkau sukai, lalu ia nikahkan denga dirinya sendiri, atau lelaki lain yang dipilih oleh perempuan yang bersangkutan, maka sah lah nikahnya walaupun calon suaminya itu tidak dikenal sebelumnya.” Pendapat senada juga disebutkan oleh Imam Hanafi, Lais, Sauri dan Auza`i.

Sedang Imam Syafi`i mengatakan : 
“Yang menikahkannya haruslah hakim atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab wali termasuk syarat pernikahan. Jadi pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli dirinya sendiri.”.

Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi`i dan Abu daud, ia mengatakan bahwa kalau dalam masalah ini diqiyaskan dengan seorang penjual tidak boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang tidak benar. Sebab jika orang dikuasakanuntuk menjual suatu barang lalu membelinya sendiri, asal ia tidak melalaikan maka hukumnya diperbolehkan. Ia beralasan dengan sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Anas r.a.:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah memerdekakan Sofiyah lalu dijadikan istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya, serta mengadakan walimahnya dengan seekor kambing,” (HR. Bukhari)

C.     Pendapat Ulama Tentang Perwalian Dalam Pernikahan
1.      Imam Syafi’i
Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Imam Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah :
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 232)

Surat An-Nisa:
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.An-Nisa : 25)
  
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.                        (Q.S. An-Nisa : 34)

Menurut Imam Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a.

2.      Imam Maliki
Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda.
Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secara tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar.

3.      Imam Hambali
Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus.
Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan.

4.      Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy Sya`bi dan Az-Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding (kufu`), maka pernikahannya boleh.[7]
Abu Hanifah dan Abu Yusuf malahan mengatakan bahwa wabita yang baligh lagi berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang masih belum dewasa (kecil) dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain. Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak kufu, maka wali dapat menghalanginya.
Para wali juga dapat menghalangi pernikahan, bila maharnya lebih kecil (rendah) dari mahar yang biasanya berlaku (dipandang tidak wajar).
Sekiranya wanita itu tidak mempunyai wali (dalam kedudukannya sebagai ahli waris) dan yang ada hanya wali hakim saja umpamanya, maka wali itu tidak ada hak untuk  menghalangi wanita itu menikah dengan laki-laki yang tidak kufu dan maharnya lebih kecil (rendah) sekalipun, karena wewenang berada di tangan wanita itu sepenuhnya. Kendatipun tidak kufu kufu dan maharnya kecil, tidak ada yang menanggung malu dari keluarganya (walinya).
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah adalah firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 230, yaitu:
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 230)

Kemudian juga firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 234
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S. Al-Baqarah : 234)

Menurut golongan ini, ayat pertama dan  kedua ditujukan (khitab) kepada suami, buka kepada wali (pendapat jumhur).
Sedangkan ayat ketiga jelas, bahwa wewenang itu berada pada diri wanita itu. Para wali tidak dipersalahkan (berdosa). Bila si wanita itu bertindak atas namanya sendiri.
Menurut golongan Hanafiyah, keberadaann wali dalam suatu perkawinan hukumnya sunat.
Setelah melihat kedua pendapat yang berbeda, maka Abu Tsaur (salah seorang fakih golongan Syafi`iyah) mengemukakan pendapatnya, bahwa suatu perkawinan dilangsungkan sesudah disetujui bersama oleh wanita dan walinya.[8]

5.      Jumhur Ulama
Salah satu rukun nikah adalah wali. Karena wali termasuk rukun, maka nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur Ulama. Hal ini berarti ada juga pendapat yang memandang sah suatu perkawinan tanpa ada wali. Dasar yang dipergunakan oleh Jumhur Ulama yang berpendapat bahwa perkawinan tidak sah tanpa adanya wali yaitu firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 232.

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 232)

Apabila seorang wanita ditalak oleh suaminya, maka setelah habis iddah-nya, si wanita itu bolah lagi kawin dengan bekas suaminya (ada ketentuannya sesudah talak tiga/talak baa`in), atau laki-laki lain. Para wali tidak boleh menghalangi atau melarang bila ada kesepakatan antara kedua calon mempelai.[9]
Ayat di atas menunjukkan, bahwa kedudukan dan keberadaan wali itu memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan.[10]
Apabila telah mendapatkan izin dari wali, namun oleh beberapa sebab, (tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya), wali itu tidak  dapat secara langsung menikahkannya, maka hakimlah  yang menjadi walinya.
Demikian juga si wanita tidak boleh mewakilkan kepada seseorang untuk menikahkan dirinya, karena dia tidak mempunyai wewenang untuk itu.
Menurut Al-Hakim, Hadis istri Rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah, Zainab mencapai tiga puluh Hadis mengemukakan tentang wali dalam pengertian yang sama, walaupun redaksinya berbeda. Oleh Ibnu Mundzir ditegaskan lagi, bahwa dia tidak melihat salah seorang sahabatpun menyalahinya.
Di antara sahabat yang berpegang kepada Hadis (tidak sah nikah tanpa wali), adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan Aisyah.
Dari kalangan Tabi`in, yaitu di antaranya; Sa`iid bin Musayyah, Hasan Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha`I, Umar bin Abd. Aziz.
Selain ulama-ulama tersebut, kita lihat pula; Sofyan As-Tsaury, Auzaai`y, Abdullah ibn Mubarak, Syafi`I, Ibnu Syubramah, Ahmad, Ishak, Ibnu Hazm, Ibnu Abi Laila, At-Thavary dan Abu Tsaur, yang sejalan dengan pendapat mereka dengan para sahabat yang telah disbutkan di atas.[11]

6.      Konsep Perundang-Undangan
Sedangkan menurut konsep perundang-undangan di beberapa Negara, dapat kita buat beberapa tipologi :
1)      Tunisia : Wali tidak lagi menjadi syarat atau rukun akad nikah,